Banyak
orang mendapatkan masalah karena keragu-raguan dalam pilihannya dan
menganggap dunia sudah berakhir hanya karena harapan dan usahanya tidak
menuai hasil. Tapi di sanalah ceritaku dimulai. Perkenalkan namaku Alfan
Sapta Rezza. Panggil saja Ezza. begitu teman-teman memanggilku. Aku
mahasiswa semester 6 di Universitas Gadjah Mada jurusan Teknik
Informasi.
Ini
tentang kisah cintaku. Cinta pertamaku namanya Milah Zaitun Nisfah dia
akan menikah besok dengan orang asing yang tidak aku kenal. Sempat
terkejut aku, otakku terasa buntu. Pikiranku kacau dan sakit beberapa
hari setelah mendengar kabar itu dari sahabat karibnya Tari Lestya
Ningsih.
Bahkan
dari Elah, sapaan akrab ke cinta pertamaku. Sama sekali tidak ada
pemberitahuan, apalagi undangan pernikahan yang diberikan ke padaku.
Mungkin karena kita memang sudah tidak ada koneksi sejak kejadian itu.
Ketika aku menyatakan cinta secara terang-terangan di depan umum.
Tepatnya di kampus Universitas Negeri Semarang tempat kuliahnya. Dia
hanya diam, apa karena malu? Mungkin dia malu ditembak cowok yang tidak
punya harapan seperti aku. Ya, dulu. Aku memang bocah pengangguran yang
bisanya cuma merengek minta uang sama ortu. Bagaimana mungkin cowok
seperti aku berani-beraninya menyatakan cinta ke cewek terpelajar dan
terhormat seperti dia, anak seorang pemuka agama di kampugnya. Itu
adalah pilihanku, tanpa keraguan.
Aku
mencoba merebahkan tubuh di kasurku sambil melamun tentang masa lalu.
Masa laluku dengannya memang begitu indah. Dulu waktu SMA kami pernah
sekelas. Karena aku dikenal sebagai anak yang sangat bandel di sekolah.
Akhirnya aku dipindahkan ke kelas IPS 1, tempat anak-anak rajin. Di
sanalah aku bertemu dengannya. Pertama aku melihatnya, sorot matanya
begitu tajam, senyumnya bagai samurai yang menyayat jantungku. Baru
pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti itu. Tapi ketika aku
mendekatinya siapa yang mengira kalau kata-katanya begitu pedas dan
sinis. Aku sudah banyak mengenal cewek dikehidupanku tapi dia itu
menyebalkan, super menyebalkan. Tapi memang benar kata orang benci bisa
menjadi cinta.
Aku
coba memejamkan mata dan mencoba melupakan semuanya. Alasan kenapa
selama ini aku masih belum menyerah untuk mendapatkan cintanya. Jujur
saja aku masih belum bisa menemukan cewek yang seperti dia apalagi
melebihi dia. Semua hidupku berawal dari motivasinya termasuk pilihanku
untuk melanjutkan sekolahku ke Universitas. Itu karena perkataannya.
“Aku akan lebih menyukaimu jika kau melanjutkan ke perguruan tinggi.”
Memang
benar kata-kata itu hanya dikirim lewat SMS ke Handphone ku. Tapi aku
selalu menganggapnya sebagai kesempatan untuk memulai menyentuh hatinya
dengan kesungguhan cintaku. Tapi itu hanya sepenggal kata yang ketika
aku mengungkit di depanya. Dia lupa, bahkan tidak menganggapnya. Dia
pergi digandeng oleh pacarnya di depan mataku. Aku hanya tertunduk
ditemani rintik hujan di depan Universitas Negeri Semarang. Dalam tidur
air mataku menetes menahan sakit. Sampai suara Adzan Shubuh
membangunkanku dari mimpi-mimpi masa lalu.
Aku
mencoba membuka mata dan pergi ke masjid untuk bersujud kepada-Nya.
Berdo’a berharap situasi bisa menjadi lebih baik dan dikuatkan hatiku
agar bisa menerima kenyataan pahit ini. Setelah itu aku kembali ke kamar
kost dan mencoba melepaskan lelah ditempat tidurku. Tiba-tiba Yuri
Yamada Gunawan dia sahabat baikku. Anak blasteran Indo-Jepang itu satu
kuliah denganku. Dia masih baru di Indonesia dan masih terpatah-patah
dalam berbahasa Indonesia. Tapi malahan sangat lancar dalam berbahasa
inggris sesuai jurusan kuliahnya. Dia selalu mengingatkan janjiku ke
Elah. Untuk mengajaknya pergi jalan-jalan ke Jepang. Elah sangat
tertarik dengan bahasa jepang dia menyukai apa yang menyakut dengan
jepang. Makanya dia mengambil bahasa Jepang sebagai jurusan kuliahnya.
“Se-la-mat pagi Ezza. Anata wa totemo ni Semarang ato?”
“Iya jam 7 aku berangkat Yuri.”
“Enjoys your life, Ezza and success for your loves story.”
“Tanks, Yuri.”
“Your welcom.”
Yuri
adalah orang yang selalu menyemangatiku ketika hubunganku dengan Milah
memburuk. Tapi karena bahasanya yang suka campur aduk Indo, Jepang dan
Inggris. Aku terkadang tidak nyambung kalau bicara dengannya. Akhirnya
aku Cuma bisa mengangguk tanda aku paham. Padahal aku sedang bingung
menerka apa yang diucapkannya.
Hari
itu aku tidak bisa menutup mataku. aku mencoba membuka laptop, memutar
lagu dan menulis jurnalku. Tiba-tiba lagu kenangan itu terputar di
daftar musikku dan pikiranku mulai bernostalgia lagi ketika Milah
mengatakan kata-kata itu. Kata-kata yang tidak pernah aku lupakan.
“Kira-kira besok kau akan menikah dengan siapa Ezza?”
“Pertanyaan apa itu? Aneh!”
“Jawab aja.”
”Tentunya dengan cewek yang aku cinta.”
“Bukannya cewek yang kau cintai itu banyak, apakah Putri? Mawar? Nabila? Atau malah Shinta?”
“Ngawur kamu! Kamu sendiri gimana? Siapa cowok yang akan kamu nikahi besok?”
“Kamu.” Milah menatap mataku tajam.
“Maksudnya kamu itu apa?”
“Lupakanlah. Sampai dimana tadi? Aku baru selesain soal 47.” Milah memalingkan mukanya dariku dan mengambil bukunya.
“Kamu itu. Dasar! Cewek aneh.”
Aku
menutup laptopku dan menaruhnya di tas. Hatiku semakin sakit saat
mengingat masa-masa itu ketika semua perjuanganku berakhir dengan
kegagalan. Selalu dan selalu gagal semua yang kulakukan. Dadaku mulai
sesek, air mataku tidak tertahankan mereka jatuh tanpa keinginanku. Aku
ingin berteriak tapi tidak bisa. Memang ini nasibku, ketika kesempatan
itu datang aku malah mengabaikannya dan membuatnya sebagai sesal. Tentu
aku masih mengingatnya hari itu Minggu tanggal 10 Februari. Aku mampir
ke Semarang untuk menjenguknya. Walaupun waktu itu hatiku masih sakit
karena tidak dianggap saat aku menembaknya di depan umum dan malah dia
pergi dengan pacarnya. Tapi disaat itu aku melihat senyuman itu lagi.
Tidak adakah orang yang mempunyai senyuman seperti itu di dunia ini? Dia
menggandeng tanganku dan mengajakku untuk duduk di warung dekat
Alun-alun. Dia pun menyapaku sambil sesenggukan menahan tangis. Tapi apa
daya, suara tangisnya mulai mengeras dan membuat hatiku bagai disayat
sembilu mengetahui derai air matanya.
“ Elah, jangan keras-keras. Nanti orang-orang mengira kalau ak...u.”
“Diamlah! Kamu nggak mau aku peluk?”
Aku
hanya bisa diam dalam pelukannya. Dia mulai bergumam tidak jelas
tetang masalahnya tapi aku tahu satu hal bahwa sekarang dia sudah putus
dengan pacarnya. Mungkin ini adalah sesuatu yang buruk bagi Milah tapi
bagiku inilah kabar yang baik, malah sangat baik.
Milah
melepaskan pelukannya dariku. Dia mengambil gelas minuman di depannya
dan meneguknya. Aku bingung perasaan itu membawaku Secara spontan aku
memegang tangannya dan memeluknya. Dia begitu hangat, perasaan seperti
apakah ini? Begitu nyaman. Beberapa kali aku memeluk seorang cewek tapi
perasaan seperti ini. Hanya ketika aku memeluk Milah. Aku merasakan
detak jantungnya begitu kencang di dadaku. Tidak heran karena dadanya
Yang berukuran B-cup, memang tidak besar tapi termasuk rumayan itu. Aku
mulai berbisik di telinganya.
“Ternyata memelukmu itu enak juga.”
“Kurang ajar! Plak…!” Milah menamparku keras di pipi.
“Dasar cewek aneh! Tadi pengen, sekarang nampar orang seenaknya.” Dia malah tersenyum-senyum tidak jelas. Tapi aku senang dia telah melepas tangisannya dan tersenyum kembali.
“Hari ini aku mau jalan-jalan, senang-senang dan belanja sepuasnya dan kamu Ezza!”
“Apa?”
“Kamu yang mentraktir!”
“Kenapa aku?”
“Karena aku belum dapat kiriman uang dari Abahku.”
“Sial banget hidupku!”
Dia
mulai tersenyum kembali. Apa adakah orang yang tahu bahwa semua
kebaikan dalam hidupku berawal dari senyumannya? Kurasa hanya aku yang
tahu, karena hanya aku yang merasakannya. Perjalanan dihari itu sangat
menyenangkan sampai aku lupa kalau waktu terus berjalan dan waktunya aku
harus meninggalkan kota Semarang lalu kembali ke rumahku. Tapi tangan
Milah tidak mau lepas dari tanganku.
“Elah, aku mau pulang.”
“Mengapa begitu cepat?”
“Ini udah lewat jam 9 malam! Ayo kita pulang, aku antarkan ke tempat kostmu.”
“Kau sudah mulai kayak Abahku Suka ngatur-ngatur. Aku masih ingin jalan-jalan denganmu?”
Milah
mulai bertingkah seperti anak kecil di depanku. Aku tidak menggubrisnya
dan kupaksakan dia untuk kembali ke tempat kostnya. Dia mulai menuruti
omonganku. Jujur saja sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu itu
bersamanya. Tapi aku tau batasnya, bersikap menjadi pria dewasa itulah
yang selalu aku coba lakukan di depanya.
Dia
selalu mengatakan kalau aku itu selalu bertingkah seperti anak kecil
dan dia menyuruhku untuk bisa bersikap seperti pria dewesa. Aku
melakukanya sekarang. Sesampainya di tempat kost dia menyuruhku untuk
mempir sebentar. Wajahnya yang mulai cemberut membuatku tidak enak untuk
menolaknya. Suasana di kamar kost itu begitu sunyi tidak ada dari kami
yang membuka pembicaraan hingga jam 11 malam. Aku melihat jam tanganku,
tanpa sepatah kata pun aku keluar dari kamar Milah.
“Ezza.
bukanya terlalu larut kalau kau kembali ke rumah? Sebaiknya untuk malam
ini kau tidur di sini saja.” Dia begitu lugu menatapku, siapa pun
orangnya? Aku yakin dia tidak akan bisa menolak ajakan itu. Tapi aku
tidak mau berpikir kotor. Perhatianku padanya itu murni cinta tidak
seperti cewek-cewekku yang dulu.
“Mungkin
benar katamu. Tapi aku lebih suka pulang ke rumah selarut ini dari pada
harus menginap di tempatmu.” Aku mencoba mengatur kata-kataku. Tapi
sepertinya aku gagal.
“Apa sebegitunya kamu membenciku setelah kejadian itu?”
“Aku nggak akan pernah bisa membencimu Elah.”
“Terus berarti kamu suka aku?” Milah meraih tangan kiriku.
“Ya nggak begitu juga.” Jantungku berdetak kencang. Aku mulai salah tingkah di depannya.
“Terus?” Milah mentapku tajam sambil melempar senyuman mautnya.
“Terus nabrak! Baiklah! Cuma malam ini. Oke?” Aku benar-benar kacau waktu itu.
Milah
tertidur lelap di atas kasurnya dia terlalu semangat tadi, pasti capek
banget. Sebaliknya denganku mataku tidak bisa terpejam aku masih
mengingat kata-kata Milah tadi . ”Terus berarti kamu suka aku?” “Iya
Milah aku suka kamu. Bukan hanya suka bahkan aku mencintaimu.” Mengapa
begitu sulit kata-kata itu terucap di mulutku. Semalaman aku hanya
menatap Milah tidur, dia begitu cantik dalam balutan jilbab warna biru
laut itu. Aku mulai tertawa sendiri dalam hati. Dia itu cewek aneh, baru
kali ini aku melihat cewek tidur pake jilbab, lengkap lagi. Kalau tidak
mau aku lihat auratnya? Lebih baik dia mengusirku dari kamarnya seperti
dulu. Sebelum adzan shubuh aku sudah meninggalkan kamar Milah dan
meninggalkan selembar kertas di meja belajarnya.
Dear : Miss Judes
Aku
masih punya hutang kepadamu, janji mengajakmu jalan-jalan ke Jepang.
Tenang saja aku yang bayar semuanya. Maaf aku buru-buru.
Tertanda budak setiamu
Mister Nyebelin.
Begitulah nama ejekan yang diberikan Milah ke padaku. Sebelum kita menjadi teman baik.
Hari
ini tanggal 23 Juni 2014. Tidak terasa aku sudah sampai di kota Pati di
sinilah kisah cintaku berawal. Di ujung jalan sudah terlihat keramaian.
Sudahkah aku siap menerima kenyataan ini? Hatiku bimbang. Kakiku terasa
lemas dan nafasku mulai sesak. aku ingin pulang saja, aku merasa tidak
kuat dengan kenyataan pahit ini. Tapi aku harus bisa menjadi pria
dewasa seperti apa yang diinginkan Milah dulu. Seorang pria harus bisa
menerima kenyataan hidupnya sendiri. Kata-kata itu harus aku pegang.
Tiba-tiba
seseorang menepuk punggungku. Aku menolah ke belakang wajah yang sudah
tidak asing bagiku. Dia Musa Ali Maftuh, teman sebangku saat kami
sekolah. Dia juga sahabat baik Milah.
“Kabar baik kawan! Bukankah ini pesta yang sangat meriah?”
“Gundulmu iku ah! Lagi masa-masa galau iki.”
Musa tertawa begitu lebar
sampai badannya ikut bergetar. “Ayo, aku bantu kau masuk ke dalam. Aku
juga kaget nggak kepalang. Tiba-tiba Milah memberikan undangan
pernikahannya kepadaku. Aku kira kamu yang menikah dengannya? Eh,
ternyata.”
“Aku
nggak tau Musa. Aku hanya ingin melihat Milah yang terakhir kalinya
dalam balutan baju pengantin. Aku sudah merasa menjadi pecundang.”
“Itu karma buatmu Rezza. Sekarang nikmatilah Playboy!” Musa tertawa keras mengejekku.
“Sial kau! Bisa-bisanya tertawa saat temen lagi kesusahan.”
Aku
dan Musa masuk ke tempat resepsi. Di sana aku bertemu teman-teman lama
mereka bernostalgia, tertawa menikmati kebersamaan. Sementara aku di
pojok memegang sebotol minuman dingin sambil menikmati asap penyakit
yang sengaja aku hisap untuk menenangkan pikiranku yang sedang galau tak
berujung. Aku mulai berpikir tentang alasan kenapa selama ini aku masih
mencintai Milah? Tiba-tiba jawaban itu muncul dengan sendirinya. Dia
adalah lentara dalam gelapku, sebuah jalan dalam sesatku, cinta pertama
dan cinta terakhirku. Aku berlari menyusup ke kamarnya. Aku siap
menyatakan cinta untuk yang ketiga kalinya dan ini kesempatan terakhir
buatku jadi aku tidak ingin membuatnya kacau.
Aku masuk dalam kamarnya dia sedang dirias. Di sana ada banyak orang tanpa ragu-ragu aku mengatakan kata-kata itu.
“Elah,
aku cinta kamu!” Terlihat orang-orang menoleh ke padaku. Kakiku mulai
gemetar dan tubuhku mulai berkeringat, ku coba menarik nafas perlahan
untuk meringankan rasa gerogiku.
“Kalian
bisa keluar dari kamarku!” Tanpa menoleh dia mengatakan kalimat itu.
aku keluar dari kamarnya bersama orang-orang yang merias Milah. Hatiku
remuk.
“Yang di
maksud Milah itu kami, nggak termasuk kamu.” Salah satu tukang rias
menyindirku. Aku kembali masuk ke kamar Milah. Dia mulai
memperhatikanku. Matanya menyusuri seolah mencari sesuatu yang hilang.
“Cowok bodoh! Ngapain kamu ikut keluar?” bentak Milah kepadaku.
“Tadi kamu bilang kalian?”
“Nggak
usah bersikap bodoh dan kekanak-kanakan di depanku. Lagian kenapa kamu
datang ke sini? Bukannya aku tidak mengundangmu ?” Mendengar kata-kata
Milah semangatku mulai kendor, aku mulai membuat kacau lagi. Aku nggak
punya kepercayaan diri, kalau ngomong di depannya. Aku keluar lagi dari
kamarnya.
“Maaf, aku selalu ganggu waktumu.”
“Apakah kau benar-benar cinta padaku, Mister Nyebelin?”
“Tentu saja, terhitung saat pertama kali aku menatapmu.”
“Maka, pergilah dari sini.”
“Pergi? Kenapa?”
“Kamu
sudah tau jawabannya. Kamu itu cowok bodoh, Mister Nyebelin dan
pecundang…!” Milah menjerit, kata-katanya mulai tidak jelas di
telingaku, dia seperti badai yang tidak tau arah semuanya di terjang.
Tiba-tiba air matanya menetes. Untuk kesekian kalinya aku merasa takut.
Lalu ku dekati dia dan kupeluk tubuh mungilnya.
“Make up mu luntur, Miss Judes.”
“Bodoh!
Bodoh! Bodoh…! Kamu cowok bodoh! Kenapa kamu ke sini? Aku nggak mau
kamu terluka. Aku nggak pantas buat kamu. Aku item, judes dan sok
dewasa.” Milah meronta, memukul dadaku dan merengek seperti anak kecil.
Aku jadi bingung harus berbuat apa? Aku melepaskan pelukanku dan pergi
meninggalkan Milah.
“Ezza, bawalah aku pergi dari sini?”
“Aku
tidak ingin selamanya menjadi pecundang Elah. Jika Tuhan merestui, dia
akan menunjukan kebesarannya kepada kita.” Aku berharap kata-kataku itu
terlihat dewasa di depan Milah.
“Sekarang kau sudah percaya dengan Tuhan? Bukannya kau hanya percaya dengan instingmu sendiri?”
“Waktu dan kamu yang mengubahku, Elah. Sekarang aku tau satu hal.” Aku membelakangi Milah saat mengatakan kalimat ini.
“Apa?”
“Kamu juga mencintaiku.” Aku menoleh ke hadapan Milah sambil melontarkan senyum bahagiaku lalu pergi meninggalkanya.
“Tapi
kamu tetap saja pecundang Ezza! yang nggak akan pernah mendapatkan
cinta yang seutuhnya dariku?! Kamu nggak pantas ada di sini! Kamu pergi!
pergi sana! Aku kau tinggalkan lagi, sendiri Dalam harapan yang kosong.
Tanpamu.” Milah menjerit bagai topan menerjang lautan dan suaranya
mulai redam dalam tangisan, aku masih mendengar suaranya terisak-isak.
Ketika aku tutup pintu kamar, aku masih berdiri membelakangi pintu. Aku
juga tidak bisa menahan tangis aku terpuruk duduk di depan pintu dan
mulai meneteskan air mata.
Setelah
lama mendengar tangisan Milah aku pergi ke tempat pelaminan. Duduk
dengan teman-temanku dan mencoba berbaur dalam obrolan. Aku hapus
kesedihanku dengan beberapa gelas es sirup. Ya memang di acara
pernikahan adanya hanya itu.
Tiba-tiba
sang calon pengantin cowok datang dengan rombongan suasana meriah
menyelimuti proses resepsi. Adat jawa begitu kental terasa dalam proses
resepsi itu. Seharusnya aku yang ada di sana duduk bersanding dengan
Milah merasakan menjadi raja dan ratu dalam singgasana pengantin.
Aku
berharap jika aku bisa mengulang waktu. Akan kugunakan kesempatan yang
pernah aku lepas menjadi hasil yang sekarang dirasakan oleh calon suami
Milah. Kesempatan, iya kesempatan. Aku berdiri dari kursiku berjalan
mendekati Milah dan pasangannya. Mencoba menyalami dan berkenalan.
“Namaku Alfan Sapta Rezza.” Ku coba melempar senyum ke pasangan itu.
“Ini temanmu ya. Mil?”
“Nggak, aku nggak ngundang dia datang ke sini.”
“Tidak
baik memasang wajah cemberut di acara pernikahan kita Mil. Oh ya. Bang
Alfan, aku Ruddi Handoko pemilik PT. Sempurna Jaya di Semarang. Salah
satu dari 100 orang terkaya di Indonesia.”
“Hebat
banget, nggak ada komanya itu pak Ruddi Handoko pemilik PT. Sempurna
jaya di Semarang. Salah satu dari 100 orang terkaya di Indonesia. Maaf
ini aku nggak bawa kado ke bapak. Tapi aku punya sesuatu yang spesial
untuk bapak.” Aku nggak nyangka sombong banget ini orang. Lagian apa sih
yang dilihat Milah dari orang ini.
“Apa itu?”
“Bapak, merem dulu?”
“Oke, pasti kejutan ini.”
Semua
kekesalan dan kekecewaan aku kumpulkan di tangan kananku lalu
kudaratkan pukulan ke muka Ruddi. Buuakkk….!!! Suaranya jelas sekali
terdengar di telingaku. Giginya mulai rompal dan mulutnya bersimbah
darah. Itu adalah kenikmatan yang luar biasa.
“Selamat
Ruddi, kau telah mendapatkan istri yang paling cantik di dunia.”
Suasana pernikahan bertambah ramai karena mempelai prianya tersungkur
pingsan. Aku mulai berjalan menjahui keramain dan hanya menuruti
instingku. seterusnya aku akan menerima nasibku dan berusaha hidup lebih
baik untuk esok. Selamat tinggal Milah. Selamat tinggal cintaku.
“Ezza…!?” Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, iya dia Milah Zaitun Nisfah. “Kenapa kau melakukanya?”
Aku
menoleh dan ku acungkan jari telunjukku ke langit. “Kau ingat janjiku,
28 Oktober 2012. Siapa pun pria yang berani menyentuhmu…” seketika itu
Milah meneruskan omonganku.
“Akan
ku buat dia babak belur. Aku ingat itu! Terus bagaimana dengan janjimu
yang ke-25?” Aku mulai bisa tersenyum ketika Milah mengajukan pertanyaan
itu.
“Akan ku bawa kau ke Jepang! Aku janji!”
“Akan aku tunggu hari itu.” Milah berjalan kembali ke tempat perkawinan.
“Elah…!”
Dia menoleh menatapku “Akan ku buktikan keseriusan cintaku kepadamu dan
dihari itu aku akan membuat dunia tidak mampu untuk berputar.”
“Terus?”
“Hari
ini kau tau satu hal. Bahwa kisah cintaku denganmu belum berakhir.”
Milah melayangkan seyuman samurainya dan melanjutkan perjalanan. Tidak
ada yang perlu dikawatirkan tentang janur kuning, itu hanya sebuah
simbol bahwa dunia baru akan segera dimulai atau berakhir.
Bersambung
19:12
Kamis, 28 Maret 2013
Ahmad Khoirur Roziqin (Orka_Pemula)
lanjutkan men. that's great
BalasHapus