Translate

04.51
1


Banyak orang mendapatkan masalah karena keragu-raguan dalam pilihannya dan menganggap dunia sudah berakhir hanya karena harapan dan usahanya tidak menuai hasil. Tapi di sanalah ceritaku dimulai. Perkenalkan namaku Alfan Sapta Rezza. Panggil saja Ezza. begitu teman-teman memanggilku. Aku mahasiswa semester 6 di Universitas Gadjah Mada jurusan Teknik Informasi.

Ini tentang kisah cintaku. Cinta pertamaku namanya Milah Zaitun Nisfah dia akan menikah besok dengan orang asing yang tidak aku kenal. Sempat terkejut aku, otakku terasa buntu. Pikiranku kacau dan sakit beberapa hari setelah mendengar kabar itu dari sahabat karibnya Tari Lestya Ningsih.
Bahkan dari Elah, sapaan akrab ke cinta pertamaku. Sama sekali tidak ada pemberitahuan, apalagi undangan pernikahan yang diberikan ke padaku. Mungkin karena kita memang sudah tidak ada koneksi sejak kejadian itu. Ketika aku menyatakan cinta secara terang-terangan di depan umum. Tepatnya di kampus Universitas Negeri Semarang tempat kuliahnya. Dia hanya diam, apa karena malu? Mungkin dia malu ditembak cowok yang tidak punya harapan seperti aku. Ya, dulu. Aku memang bocah pengangguran yang bisanya cuma merengek minta uang sama ortu. Bagaimana mungkin cowok seperti aku berani-beraninya menyatakan cinta ke cewek terpelajar dan terhormat seperti dia, anak seorang pemuka agama di kampugnya. Itu adalah pilihanku, tanpa keraguan.
Aku mencoba merebahkan tubuh di kasurku sambil melamun tentang masa lalu. Masa laluku dengannya memang begitu indah. Dulu waktu SMA kami pernah sekelas. Karena aku dikenal sebagai anak yang sangat bandel di sekolah. Akhirnya aku dipindahkan ke kelas IPS 1, tempat anak-anak rajin. Di sanalah aku bertemu dengannya. Pertama aku melihatnya, sorot matanya begitu tajam, senyumnya bagai samurai yang menyayat jantungku. Baru pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti itu. Tapi ketika aku mendekatinya siapa yang mengira kalau kata-katanya begitu pedas dan sinis. Aku sudah banyak mengenal cewek dikehidupanku tapi dia itu menyebalkan, super menyebalkan. Tapi memang benar kata orang benci bisa menjadi cinta.
Aku coba memejamkan mata dan mencoba melupakan semuanya. Alasan kenapa selama ini aku masih belum menyerah untuk mendapatkan cintanya. Jujur saja aku masih belum bisa menemukan cewek yang seperti dia apalagi melebihi dia. Semua hidupku berawal dari motivasinya termasuk pilihanku untuk melanjutkan sekolahku ke Universitas. Itu karena perkataannya.  “Aku akan lebih menyukaimu jika kau melanjutkan ke perguruan tinggi.”
Memang benar kata-kata itu hanya dikirim lewat SMS ke Handphone ku. Tapi aku selalu menganggapnya sebagai kesempatan untuk memulai menyentuh hatinya dengan kesungguhan cintaku. Tapi itu hanya sepenggal kata yang ketika aku mengungkit di depanya. Dia lupa, bahkan tidak menganggapnya. Dia pergi digandeng oleh pacarnya di depan mataku. Aku hanya tertunduk ditemani rintik hujan di depan Universitas Negeri Semarang. Dalam tidur air mataku menetes menahan sakit. Sampai suara Adzan Shubuh membangunkanku dari mimpi-mimpi masa lalu.
Aku mencoba membuka mata dan pergi ke masjid untuk bersujud kepada-Nya. Berdo’a berharap situasi bisa menjadi lebih baik dan dikuatkan hatiku agar bisa menerima kenyataan pahit ini. Setelah itu aku kembali ke kamar kost dan mencoba melepaskan lelah ditempat tidurku. Tiba-tiba Yuri Yamada Gunawan dia sahabat baikku. Anak blasteran Indo-Jepang itu satu kuliah denganku. Dia masih baru di Indonesia dan masih terpatah-patah dalam berbahasa Indonesia. Tapi malahan sangat lancar dalam berbahasa inggris sesuai jurusan kuliahnya. Dia selalu mengingatkan janjiku ke Elah. Untuk mengajaknya pergi jalan-jalan ke Jepang. Elah sangat tertarik dengan bahasa jepang dia menyukai apa yang menyakut dengan jepang. Makanya dia mengambil bahasa Jepang sebagai jurusan kuliahnya.
“Se-la-mat pagi Ezza.  Anata wa totemo ni Semarang ato?”
“Iya jam 7 aku berangkat Yuri.”
Enjoys your life, Ezza  and success for your loves story.”
Tanks, Yuri.”
Your welcom.”
Yuri adalah orang yang selalu menyemangatiku ketika hubunganku dengan Milah memburuk. Tapi karena bahasanya  yang suka campur aduk Indo, Jepang dan Inggris. Aku terkadang tidak nyambung kalau bicara dengannya. Akhirnya aku Cuma bisa mengangguk tanda aku paham. Padahal aku sedang bingung menerka apa yang diucapkannya.
Hari itu aku tidak bisa menutup mataku. aku mencoba membuka laptop, memutar lagu dan menulis jurnalku. Tiba-tiba lagu kenangan itu terputar di daftar musikku dan pikiranku mulai bernostalgia lagi ketika Milah mengatakan kata-kata itu. Kata-kata yang tidak pernah aku lupakan.
“Kira-kira besok kau akan menikah dengan siapa Ezza?”
“Pertanyaan apa itu? Aneh!”
“Jawab aja.”
”Tentunya dengan cewek yang aku cinta.”
“Bukannya cewek yang kau cintai itu banyak, apakah Putri? Mawar? Nabila? Atau malah Shinta?”
“Ngawur kamu! Kamu sendiri gimana? Siapa cowok yang akan kamu nikahi besok?”
“Kamu.” Milah menatap mataku tajam.
“Maksudnya kamu itu apa?”
“Lupakanlah. Sampai dimana tadi? Aku baru selesain soal 47.” Milah memalingkan mukanya dariku dan mengambil bukunya.
“Kamu itu. Dasar! Cewek aneh.”
Aku menutup laptopku dan menaruhnya di tas. Hatiku semakin sakit saat mengingat masa-masa itu ketika semua perjuanganku berakhir dengan kegagalan. Selalu dan selalu gagal semua yang kulakukan. Dadaku mulai sesek, air mataku tidak tertahankan mereka jatuh tanpa keinginanku. Aku ingin berteriak tapi tidak bisa. Memang ini nasibku, ketika kesempatan itu datang aku malah mengabaikannya dan membuatnya sebagai sesal. Tentu aku masih mengingatnya hari itu Minggu tanggal 10 Februari. Aku mampir ke Semarang untuk menjenguknya. Walaupun waktu itu hatiku masih sakit karena tidak dianggap saat aku menembaknya di depan umum dan malah dia pergi dengan pacarnya. Tapi disaat itu aku melihat senyuman itu lagi. Tidak adakah orang yang mempunyai senyuman seperti itu di dunia ini? Dia menggandeng tanganku dan mengajakku untuk duduk di warung dekat Alun-alun. Dia pun menyapaku sambil sesenggukan menahan tangis. Tapi apa daya, suara tangisnya mulai mengeras dan membuat hatiku bagai disayat sembilu mengetahui derai air matanya.
“ Elah, jangan keras-keras. Nanti orang-orang mengira kalau ak...u.”
“Diamlah! Kamu nggak mau aku peluk?”
Aku hanya bisa diam dalam pelukannya.  Dia mulai bergumam tidak jelas tetang masalahnya tapi aku tahu satu hal bahwa sekarang dia sudah putus dengan pacarnya. Mungkin ini adalah sesuatu yang buruk bagi Milah tapi bagiku inilah kabar yang baik, malah sangat baik.
Milah melepaskan pelukannya dariku. Dia mengambil gelas minuman di depannya dan meneguknya. Aku bingung perasaan itu membawaku Secara spontan aku memegang tangannya dan memeluknya. Dia begitu hangat, perasaan seperti apakah ini? Begitu nyaman. Beberapa kali aku memeluk seorang cewek tapi perasaan seperti ini. Hanya ketika aku memeluk Milah. Aku merasakan detak jantungnya begitu kencang di dadaku. Tidak heran karena dadanya Yang berukuran B-cup, memang tidak besar tapi termasuk rumayan itu. Aku mulai berbisik di telinganya.
“Ternyata memelukmu itu enak juga.”
“Kurang ajar! Plak…!” Milah menamparku keras di pipi.
“Dasar cewek aneh! Tadi pengen, sekarang nampar orang seenaknya.” Dia malah tersenyum-senyum tidak jelas. Tapi aku senang dia telah melepas tangisannya dan tersenyum kembali.
“Hari ini aku mau jalan-jalan, senang-senang dan belanja sepuasnya dan kamu Ezza!”

“Apa?”
“Kamu yang mentraktir!”
“Kenapa aku?”
“Karena aku belum dapat kiriman uang dari Abahku.”
“Sial banget hidupku!”
Dia mulai tersenyum kembali. Apa adakah orang yang tahu bahwa semua kebaikan dalam hidupku berawal dari senyumannya? Kurasa hanya aku yang tahu, karena hanya aku yang merasakannya. Perjalanan dihari itu sangat menyenangkan sampai aku lupa kalau waktu terus berjalan dan waktunya aku harus meninggalkan kota Semarang lalu kembali ke rumahku. Tapi tangan Milah tidak mau lepas dari tanganku.
“Elah, aku mau pulang.”

“Mengapa begitu cepat?”
“Ini udah  lewat jam 9 malam! Ayo kita pulang, aku antarkan ke tempat kostmu.”
“Kau sudah mulai kayak Abahku Suka ngatur-ngatur. Aku masih ingin jalan-jalan denganmu?”
Milah mulai bertingkah seperti anak kecil di depanku. Aku tidak menggubrisnya dan kupaksakan dia untuk kembali ke tempat kostnya. Dia mulai menuruti omonganku. Jujur saja sebenarnya aku masih ingin menghabiskan waktu itu bersamanya. Tapi aku tau batasnya, bersikap menjadi pria dewasa itulah yang selalu aku coba lakukan di depanya.
Dia selalu mengatakan kalau aku itu selalu bertingkah seperti anak kecil dan dia menyuruhku untuk bisa bersikap seperti pria dewesa. Aku melakukanya sekarang. Sesampainya di tempat kost dia menyuruhku untuk mempir sebentar. Wajahnya yang mulai cemberut membuatku tidak enak untuk menolaknya. Suasana di kamar kost itu begitu sunyi tidak ada dari kami yang membuka pembicaraan hingga jam 11 malam. Aku melihat jam tanganku, tanpa sepatah kata pun aku keluar dari kamar Milah.
“Ezza. bukanya terlalu larut kalau kau kembali ke rumah? Sebaiknya untuk malam ini kau tidur di sini saja.” Dia begitu lugu menatapku, siapa pun orangnya? Aku yakin dia tidak akan bisa menolak ajakan itu. Tapi aku tidak mau berpikir kotor. Perhatianku padanya itu murni cinta tidak seperti cewek-cewekku yang dulu.
“Mungkin benar katamu. Tapi aku lebih suka pulang ke rumah selarut ini dari pada harus menginap di tempatmu.” Aku mencoba mengatur kata-kataku. Tapi sepertinya aku gagal.
“Apa sebegitunya kamu membenciku setelah kejadian itu?”
“Aku nggak akan pernah bisa membencimu Elah.”
“Terus berarti kamu suka aku?” Milah meraih tangan kiriku.
“Ya nggak begitu juga.” Jantungku berdetak kencang. Aku mulai salah tingkah di depannya.
“Terus?” Milah mentapku tajam sambil melempar senyuman mautnya.
“Terus nabrak! Baiklah! Cuma malam ini. Oke?” Aku benar-benar kacau waktu itu.
Milah tertidur lelap di atas kasurnya dia terlalu semangat tadi, pasti capek banget. Sebaliknya denganku mataku tidak bisa terpejam aku masih mengingat kata-kata Milah tadi . ”Terus berarti kamu suka aku?”  “Iya Milah aku suka kamu. Bukan hanya suka bahkan aku mencintaimu.” Mengapa begitu sulit kata-kata itu terucap di mulutku. Semalaman aku hanya menatap Milah tidur, dia begitu cantik dalam balutan jilbab warna biru laut itu. Aku mulai tertawa sendiri dalam hati. Dia itu cewek aneh, baru kali ini aku melihat cewek tidur pake jilbab, lengkap lagi. Kalau tidak mau aku lihat auratnya? Lebih baik dia mengusirku dari kamarnya seperti dulu. Sebelum adzan shubuh aku sudah meninggalkan kamar Milah dan meninggalkan selembar kertas di meja belajarnya.
Dear  : Miss Judes
Aku masih punya hutang kepadamu, janji mengajakmu jalan-jalan ke  Jepang. Tenang saja aku yang bayar semuanya. Maaf aku buru-buru.
Tertanda budak setiamu
  Mister Nyebelin.
 Begitulah nama ejekan yang diberikan Milah ke padaku. Sebelum kita menjadi teman baik.
Hari ini tanggal 23 Juni 2014. Tidak terasa aku sudah sampai di kota Pati di sinilah kisah cintaku berawal. Di ujung jalan sudah terlihat keramaian. Sudahkah aku siap menerima kenyataan ini? Hatiku bimbang. Kakiku terasa lemas dan nafasku mulai sesak. aku  ingin pulang saja, aku merasa tidak kuat dengan kenyataan pahit ini. Tapi aku harus bisa menjadi pria dewasa seperti apa yang diinginkan Milah dulu. Seorang pria harus bisa menerima kenyataan hidupnya sendiri. Kata-kata itu harus aku pegang.
Tiba-tiba seseorang menepuk punggungku. Aku menolah ke belakang wajah yang sudah tidak asing bagiku. Dia Musa Ali Maftuh, teman sebangku saat kami sekolah. Dia juga sahabat baik Milah.
“Kabar baik kawan! Bukankah ini pesta yang sangat meriah?”
Gundulmu iku ah! Lagi masa-masa galau iki.”

Musa tertawa begitu lebar sampai badannya ikut bergetar. “Ayo, aku bantu kau masuk ke dalam. Aku juga kaget nggak kepalang. Tiba-tiba Milah memberikan undangan pernikahannya kepadaku. Aku kira kamu yang menikah dengannya? Eh, ternyata.”
“Aku nggak tau Musa. Aku hanya ingin melihat Milah yang terakhir kalinya dalam balutan baju pengantin. Aku sudah merasa menjadi pecundang.”
“Itu karma buatmu Rezza. Sekarang nikmatilah Playboy!” Musa tertawa keras mengejekku.
“Sial kau! Bisa-bisanya tertawa saat temen lagi kesusahan.”
Aku dan Musa masuk ke tempat resepsi. Di sana aku bertemu teman-teman lama mereka bernostalgia, tertawa menikmati kebersamaan. Sementara aku di pojok memegang sebotol minuman dingin sambil menikmati asap penyakit yang sengaja aku hisap untuk menenangkan pikiranku yang sedang galau tak berujung. Aku mulai berpikir tentang alasan kenapa selama ini aku masih mencintai Milah? Tiba-tiba jawaban itu muncul dengan sendirinya. Dia adalah lentara dalam gelapku, sebuah jalan dalam sesatku, cinta pertama dan cinta terakhirku. Aku berlari menyusup ke kamarnya. Aku siap menyatakan cinta untuk yang ketiga kalinya dan ini kesempatan terakhir buatku jadi aku tidak ingin membuatnya kacau.
 Aku masuk dalam kamarnya dia sedang dirias. Di sana ada banyak orang tanpa ragu-ragu aku mengatakan kata-kata itu.
“Elah, aku cinta kamu!” Terlihat orang-orang menoleh ke padaku. Kakiku mulai gemetar dan tubuhku mulai berkeringat, ku coba menarik nafas perlahan untuk meringankan rasa gerogiku.
“Kalian bisa keluar dari kamarku!” Tanpa menoleh dia mengatakan kalimat itu. aku keluar dari kamarnya bersama orang-orang yang merias Milah. Hatiku remuk.
“Yang di maksud Milah itu kami, nggak termasuk kamu.” Salah satu tukang rias menyindirku. Aku kembali masuk ke kamar Milah. Dia mulai memperhatikanku. Matanya menyusuri seolah mencari sesuatu yang hilang.
“Cowok bodoh! Ngapain kamu ikut keluar?” bentak Milah kepadaku.
“Tadi kamu bilang kalian?”
“Nggak usah bersikap bodoh dan kekanak-kanakan di depanku. Lagian kenapa kamu datang ke sini? Bukannya aku tidak mengundangmu ?” Mendengar kata-kata Milah semangatku mulai kendor, aku  mulai membuat kacau lagi. Aku nggak punya kepercayaan diri, kalau ngomong di depannya. Aku keluar lagi dari kamarnya.
“Maaf, aku selalu ganggu waktumu.”
“Apakah kau benar-benar cinta padaku, Mister Nyebelin?”
“Tentu saja, terhitung saat pertama kali aku menatapmu.”
“Maka, pergilah dari sini.”

“Pergi? Kenapa?”
“Kamu sudah tau jawabannya. Kamu itu cowok bodoh, Mister Nyebelin dan pecundang…!” Milah menjerit, kata-katanya mulai tidak jelas di telingaku, dia seperti badai yang tidak tau arah semuanya di terjang. Tiba-tiba air matanya menetes. Untuk kesekian kalinya aku merasa takut. Lalu ku dekati dia dan kupeluk tubuh mungilnya.
“Make up mu luntur, Miss Judes.”
“Bodoh! Bodoh! Bodoh…! Kamu cowok bodoh! Kenapa kamu ke sini? Aku nggak mau kamu terluka. Aku nggak pantas buat kamu. Aku item, judes dan sok dewasa.” Milah meronta, memukul dadaku dan merengek seperti anak kecil. Aku jadi bingung harus berbuat apa? Aku melepaskan pelukanku dan pergi meninggalkan Milah.
“Ezza, bawalah aku pergi dari sini?”
“Aku tidak ingin selamanya menjadi pecundang Elah. Jika Tuhan merestui, dia akan menunjukan kebesarannya kepada kita.” Aku berharap kata-kataku itu terlihat dewasa di depan Milah.
“Sekarang kau sudah percaya dengan Tuhan? Bukannya kau hanya percaya dengan instingmu sendiri?”
“Waktu dan kamu yang mengubahku, Elah. Sekarang aku tau satu hal.” Aku membelakangi Milah saat mengatakan kalimat ini.
“Apa?”
“Kamu juga mencintaiku.” Aku menoleh ke hadapan Milah sambil melontarkan senyum bahagiaku lalu  pergi meninggalkanya.
“Tapi kamu tetap saja pecundang Ezza! yang nggak akan pernah mendapatkan cinta yang seutuhnya dariku?! Kamu nggak pantas ada di sini! Kamu pergi! pergi sana! Aku kau tinggalkan lagi, sendiri Dalam harapan yang kosong. Tanpamu.” Milah menjerit bagai topan menerjang lautan dan suaranya mulai redam dalam tangisan, aku masih mendengar suaranya terisak-isak. Ketika aku tutup pintu kamar, aku masih berdiri membelakangi pintu. Aku juga tidak bisa menahan tangis aku terpuruk duduk di depan pintu dan mulai meneteskan air mata.
Setelah lama mendengar tangisan Milah aku pergi ke tempat pelaminan. Duduk dengan teman-temanku dan mencoba berbaur dalam obrolan. Aku hapus kesedihanku dengan beberapa gelas es sirup. Ya memang di acara pernikahan adanya hanya itu.
Tiba-tiba sang calon pengantin cowok datang dengan rombongan suasana meriah menyelimuti proses resepsi. Adat jawa begitu kental terasa dalam proses resepsi itu. Seharusnya aku yang ada di sana duduk bersanding dengan Milah merasakan menjadi raja dan ratu dalam singgasana pengantin.
Aku berharap jika aku bisa mengulang waktu. Akan kugunakan kesempatan yang pernah aku lepas menjadi hasil yang sekarang dirasakan oleh calon suami Milah. Kesempatan, iya kesempatan. Aku berdiri dari kursiku berjalan mendekati Milah dan pasangannya. Mencoba menyalami dan berkenalan.
“Namaku Alfan Sapta Rezza.” Ku coba melempar senyum ke pasangan itu.
“Ini temanmu ya.  Mil?”

“Nggak, aku nggak ngundang dia datang ke sini.”
“Tidak baik memasang wajah cemberut di acara pernikahan kita Mil.  Oh ya. Bang Alfan, aku Ruddi Handoko pemilik PT. Sempurna Jaya di Semarang. Salah satu dari 100 orang terkaya di Indonesia.”
“Hebat banget,  nggak ada komanya itu pak Ruddi Handoko pemilik PT. Sempurna jaya di Semarang. Salah satu dari 100 orang terkaya di Indonesia. Maaf ini aku nggak bawa kado ke bapak. Tapi aku punya sesuatu yang spesial untuk bapak.” Aku nggak nyangka sombong banget ini orang. Lagian apa sih yang dilihat Milah dari orang ini.
“Apa itu?”
“Bapak, merem dulu?”
“Oke, pasti kejutan ini.”
Semua kekesalan dan kekecewaan aku kumpulkan di tangan kananku lalu kudaratkan pukulan ke muka Ruddi. Buuakkk….!!! Suaranya jelas sekali terdengar di telingaku. Giginya mulai rompal dan mulutnya bersimbah darah. Itu adalah kenikmatan yang luar biasa.
“Selamat Ruddi, kau telah mendapatkan istri yang paling cantik di dunia.” Suasana pernikahan bertambah ramai karena mempelai prianya tersungkur pingsan. Aku mulai berjalan menjahui keramain dan hanya menuruti instingku. seterusnya aku akan menerima nasibku dan berusaha hidup lebih baik untuk esok. Selamat tinggal Milah. Selamat tinggal cintaku.
“Ezza…!?” Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, iya dia Milah Zaitun Nisfah. “Kenapa kau melakukanya?”
Aku menoleh dan ku acungkan jari telunjukku ke langit. “Kau ingat janjiku, 28 Oktober 2012. Siapa pun pria yang berani menyentuhmu…” seketika itu Milah meneruskan omonganku.
“Akan ku buat dia babak belur. Aku ingat itu! Terus bagaimana dengan janjimu yang ke-25?” Aku mulai bisa tersenyum ketika Milah mengajukan pertanyaan itu.
“Akan ku bawa kau ke Jepang! Aku janji!”
“Akan aku tunggu hari itu.” Milah berjalan kembali ke tempat perkawinan.
“Elah…!” Dia menoleh menatapku “Akan ku buktikan keseriusan cintaku kepadamu dan dihari itu aku akan membuat dunia tidak mampu untuk berputar.”
“Terus?”
“Hari ini kau tau satu hal. Bahwa kisah cintaku denganmu belum berakhir.” Milah melayangkan seyuman samurainya dan melanjutkan perjalanan. Tidak  ada yang perlu dikawatirkan tentang janur kuning, itu hanya sebuah simbol bahwa dunia baru akan segera dimulai atau berakhir.

Bersambung

19:12
Kamis, 28 Maret 2013
Ahmad Khoirur Roziqin (Orka_Pemula)
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

1 komentar: