Translate

04.44
1

Sudah 15 hari sejak kematian Ratih istriku, melihat Risa hampir tak pernah keluar dari rumah aku mulai kawatir dengan keadaannya dan Fay adiknya tidak mau kalah dengan kakaknya. Berbeda dengan Risa dia malah terlalu sering keluar rumah. Entah apa yang dilakukannya?
Sedangkan Brian anakku yang paling kecil selalu menangis tak jelas apa penyebabnya dan menangisi apa? Suasana sangat berbeda tidak seperti dulu lagi ketika Ratih masih ada, begitu besar perannya dalam kehidupan kelurga kami. Dia yang selalu mengurusi anak-anak, membereskan pekerjaan rumah dan sementara aku selalu sibuk dengan pekerjaanku di kantor dan hampir tidak pernah bertatapan dengan anak-anakku. Sejak kenaikan pangkatku menjadi Meneger Marketing di tempatku bekerja 2 tahun yang lalu.
Sudah 15 hari ini aku cuti dari pekerjaanku meninggalkan semua kesibukanku di kantor. Aku hanya ingin untuk sekarang bisa bersama dengan anak-anakku. Aku sendiri masih bersedih meratapi diri dengan semua yang terjadi. Ingin sekali aku mengulang Masa-masa seperti dulu lagi dimana setiap senyum dan tawa masih terlihat di keluargaku. Tapi sekarang semua berbeda sama sekali tidak ada senyuman yang tersisa di keluargaku, sekarang hanyalah wajah pucat penuh kesedihan.
***
Sekitar jam 9 malam aku pergi ke kamar Risa untuk membujuknya agar dia mau makan, karena sejak pagi hari tadi aku tidak melihatnya makan sesuatu. Seketika itu aku mendengar tangisan dari kamar Risa, lirih menyayat hati, lalu aku mengetuk pintu kamarnya. 
“Tok. tok. Risa kamu tidak apa-apa? Makananmu sudah dingin, makanlah?” Risa tak menjawab sedikit pun, hal itu membuatku merasa khawatir terhadapnya.
“Apa aku boleh masuk?” Risa terus saja menangis. Sontak aku langsung membuka pintu sebab pintunya tidak dikunci, terlihatlah manusia bermata kosong yang di aliri air terjun yang begitu deras jatuh kepipinya. Wajah pucat pasih itu seakan terukir kesedihan yang begitu mendalam.
“Keluar dari kamarku Tino! Aku tidak lapar dan jangan pernah lagi masuk ke kamarku tanpa izinku!” suaranya seperti petir menggelegar dalam hujan lebat yang turun dari kelopak matanya.
Segera aku keluar dari kamarnya dan meletakkan makanan yang kubawa di depan pintu kamarnya.
“Aku taruh makananmu di depan pintu Ris, makanlah aku tidak mau kau sakit.” Sahutku ke Risa. 
Risa dari dulu sampai sekarang tidak pernah memanggilku Ayah. Semenjak aku menikahi Ibunya yang sudah menjanda selama 3 tahun. Sosok ayahnya yang dulu tidak pernah bisa aku gantikan. Setelah keluar dari kamar Risa. lalu aku masuk ke kamar Brian dan Fay untuk menidurkannya, yang kebetulan mereka berdua satu kamar. Kamarnya terletak di samping kamar Risa. Aku masuk ke kamar Brian dan Fay. Aku melihat Fay yang sudah tertidur lelap tapi padahal aku tahu dia belum tertidur dan hanya mencoba menutup kedua mata diatas ranjangnya di sebelah selatan kamar. Sedangkan Brian diatas ranjangnya di sebelah utara kamar, ia sedang memegang foto Ratih dalam pelukannya. Lalu aku menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Mengapa kamu selalu menangis Brian?” Kataku dengan lembut sambil mengelus rambut Brian.
Brian bangun dari tidurnya dan memelukku.”Aku rindu Ibu?”. Suara tangisannya mulai semakin kencang lalu aku mencoba menenangkannya. 
“Ayah juga rindu Ibumu, kau tahu? Sekarang ibu telah menjadi bidadari yang sangat cantik di surga.” 
“Secantik apa yah?” Brian memecah tangisannya. 
“Bidadari tercantik yang pernah ada. Mungkin besok kita bisa mengunjunginya dan berjumpa dengannya.” 
“Aku..., maksudnya kita bisa menjenguk Ibu?”. Brian mengoreksi perkataannya.
“ Tentu saja, makanya jangan nangis lagi, Gengsi donk. Anak cowok kok cengen begitu?” 
“Ayah?”
“apa brian?”
“Aku sedih karena aku hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat apa-apa.” Wajah anak 7 tahun itu termenung sedih dan terlihat seperti laki-laki dewasa yang mendapat masalah besar.
“Maksudnya?”. Tanyaku kepada Brian.
“kak Risa setiap hari di kamarnya selalu belajar-belajar dan belajar agar bisa menjadi juara 1 pada lomba SAINS tingkat Provinsi di sekolahnya yang akan di laksankan 3 hari lagi. Sedangkan kak Fay selalu keluar rumah untuk berlatih dan mengikuti lomba lari dalam menghadapi PORSENI yang diadakan di sekolahnya 3 hari lagi. Mereka berdua sudah berjanji pada Ibu dan mereka tidak mau mengecewakan ibu dan optimis harus bisa menjadi yang terbaik untuk ibu. Sadangkan apa yang bisa kulakukan, bisaku hanya menangis.” Raut muka pucat membungkus wajah Brian.
Lalu aku mengodanya. ”Mengapa kau tidak ikut lomba menangis saja? Ayah percaya kamu pasti menang.”
“Ayah mengejekku ya?” bibir brian manyun menanggapi tanggapanku.
“Kamu adalah anak tertampan di kelurga kita, karena yang lain adalah perempuan.”
“Ayah!”. Dengan nada sedikit kesal.
“Kamu pasti bisa menjadi yang terbaik di kelurga kita dan ayah tidak mau melihat kamu menangis lagi. Ok?” Brian mengangguk tanda dia menyanggupinya.
“Aku tinggal dulu, jaga kakakmu baik-baik Kapten?”
“Siap Komandan!”
Lalu aku pindah ke ranjang Fay dan membenahi selimutnya. Saat aku sedang membuka pintu dan mencoba keluar kamar dalam sunyi aku mendengar suara lirih tangis dan itu Fay, dia memanggilku.
“Ayah? Apakah benar sekarang Ibu berada di surga dan menjadi Bidadari yang cantik?” Berkata dalam tangisnya.
Lalu aku mendekat dan memeluknya. “Benar sayang, bidadari tercantik yang pernah ada.”
“Lalu apakah benar kita akan mengunjungi Ibu?”
“Iya, sayang. Kita akan menjenguk Ibu.”
“Aku rindu Ibu?”
“Ayah juga rindu. Tapi sekarang ada ayah yang akan selalu menemanimu untuk menggantikan ibu. Jadi putriku yang cantik, sekarang kita tidur dan besok kita akan jalan-jalan.”
“Benarkah? Ayah tidak bekerja?” 
“Tidak sayang, hal terpenting dalam hidup ayah adalah kalian.”
“Bukan pekerjaan Ayah?” Sahut Fay
“Maafkan ayah yang dulu, untuk seterusnya Ayah akan selalu bersama kalian dan mementingkan kalian.” Awan mendung mulai mengendap di kelopak mataku.
“Ayah janji?” Fay menengahdahkan jari kelingkingnya.
“Ayah janji.” Aku Menggandeng jari kelingking Fay dengan jari kelingkingku.
“Selamat malam Putri cantik.” Sambil aku mengecup keningnya.
“selamat malam Raja.” Fay melambaikan tangan kepadaku yang mulai menjauh.
Setelah aku keluar dari kamar Brian dan Fay aku lihat nampan yang aku taruh di depan kamar Risa yang tadinya berisi makanan sekarang telah habis. Mungkin dia sangat kelaparan. Hatiku mulai merasa membaik, aku merasa hidup kembali dan aku mulai berfikir yang perlu aku berikan pada anak-anakku adalah sebuah perhatian.
Lalu aku mengingat sebelum Ratih meninggal aku tidak pernah memberikan perhatian pada anak-anakku yang ku perhatikan hanya pekerjan-pekerjan dan pekerjaan. Aku harus berubah, aku berjanji pada diriku sendiri. 
***
Keesokan harinya setelah pekerjaan rumah beres dan  keperluan piknik suadah siap. Lalu aku berangkat bersama anak-anakku pergi ke Taman Kota. Sebelum berangkat terjadi percekcokan antara aku dan Risa. Risa tidak mau ikut, tapi karna Brian menangis dan Fay begitu memaksa Risa, akhirnya dia ikut juga. 
Kami berjalan-jalan ditaman menerbangkan layang-layang, kejar-kejaran, memancing di danau dan lain-lain. Suasana ceria mulai tercipta. Tapi aku tidak melihat ekspresi itu pada Risa, selama piknik saat berangkat maupun saat pulang  masih saja terpasang mimik sedih pada wajahnya.
Setelah pulang dari piknik Risa langsung pergi kekamarnya dan mengurung diri disana. dia merasa terpukul sekali kehilangan ibunya dan dia tidak mau berbagi ceritanya. Seperti aku yang mulai membaik saat bicara dengan Brian dan Fay.
Beberapa hari kemudian saatnya Fay dan Risa akan memenuhi janji mereka kepada ibunya. Mereka berjuang keras pada lomba itu. Fay berhasil mendapat juara 1 pada lomba lari. Tapi Risa harus puas dengan menjadi Juara harapan. Naasnya nasib gadis itu, dia kecewa karna tidak bisa memenuhi janji pada ibunya.
Sejak itu kesedihannya berlipat ganda dia terus-menerus mengurung dirinya dalam kamar dia tidak mau berbicara pada siapapun, termasuk dengan Brian ataupun Fay. Aku mencoba menguatkan hatiku untuk sabar menghadapinya. Aku mengambil satu langkah kedepan aku pergi ke kamar Risa lalu  mengetok pintunya. Tapi tidak ada jawaban dari Risa, Beberapa kali aku mencoba menggedor-gedor pintunya dengan rasa khawatir yang sangat. Lalu aku mendobrak masuk dan Kulihat Risa tergeletak di lantai dengan darah segar yang masih mengalir dari pergelangan tangan kirinya, segera aku membawanya ke rumah sakit.
***
 Beberapa hari kemudian saat Risa mulai sadar dari komanya.
“Dimana aku? kepalaku pusing.”
“Kamu ada di rumah sakit, kamu mengalami pendarahan hebat dan kehabisan banyak darah dan kami hambpir tidak bisa menyelamatkanmu karena sulit sekali mencari golongan darah yang sama denganmu. Tapi berkat ayahmu, kamu bisa tertolong dan pada detik ini masih bisa bernafas.” Kata dokter ke Risa.
“kamu sudah siuman Risa?” Aku  yang baru masuk ke kamar rawat Risa dengan Fay dan Brian.
“Akhirnya kakak siuman. Yeah!” Senyum ceria terpasang di wajah Brian.
“Aku sangat khawatir denganmu?“ Aku menangis sambil memeluk Risa.
“Terima kasih Ayah atas segalanya.” Sahut Risa ke Aku.
 “Kamu bilang apa tadi? ulangi sekali lagi?” Bernada kaget dan aku lepas pelukanku dari tubuh Risa.
“Terima kasih ayah…!” Wajah pucat Risa mulai mencerah.
“Anak perempuanku. Sayangku..!” Tangis mulai menderas di mataku.
“Aku juga sayang kamu Ayah. Maafkan aku selama ini yang telah membuatmu kawatir Tino. Maksudku Ayah”. Risa mengoreksi perkataannya.
“Besok aku ajak kamu, Fay dan Brian untuk pergi berziarah ke makam ibumu, kamu mau?”
“Baiklah Ayah.”
“Semakin sering kamu memanggilku Ayah seperti itu. Tidak akan membuatku menambahkan uang sakumu.” Sambil masih menangis memeluk Risa.
“Ayah bisa saja.”
Setelah Risa sembuh dari sakitnya dan boleh pulang kerumah kami sekeluarga pergi kemakam Ratih di TPU Sekar Sari. 
Aku Duduk sambil memegang batu nisan kuburan Ratih. “Kau telah pergi dan meninggalkan 3 Mutiara kepadaku. Akan kurawat dan ku asuh mereka. Istirahatlah dengan tenang disana. Aku mencintaimu selamaya.”
“Ibu, Aku rindu Ibu?” Risa menangis tersedu-sedu lalu memelukku dan Setelah itu menyusul Fay dan Brian. Satu keluarga menangis dalam satu pelukan.
“Bau apaan ini?” Bentak Risa sambil menutup hidungnya.
“Maaf Aku kelepasan kentut kak.” Pengakuan Brian.
“Brian…!“ Raungan Risa ke muka Brian.
 “Maaf kak…!” Sambil berlari ketakutan dari risa.
“Kamu tidak akan Kakak maafkan…!” Teriak Risa sambil mengejar Brian.
“Akhirnya seperti dulu lagi.” Aku tersenyum di depan makam Ratih dengan Fay.

The end




17.33
Selasa, 25 oktober 2011
Ahmad Khoirur Roziqin (Orka Library) _Pemula

1 komentar: